Wednesday, February 28, 2007

Dengarkan Suara Hati

Adakah yang lebih bening dari suara hati, kala ia menegur kita tanpa suara. Adakah yang lebih jujur dari nurani, saat ia menyadarkan kita tanpa kata-kata. Adakah yang lebih tajam dari mata hati, ketika ia menghentak kita dari beragam kesalahan dan alpa. Ya, sebenarnya saat yang paling indah dari seluruh putaran kehidupan ini adalah saat kita mampu secara jujur dan tulus mendengar suara hati.

Sebab, dari sanalah banyak tindakan dan perilaku kita menemukan arahnya yang benar. Dari sana amal-amal dan segala proses kehidupan kita memiliki pijakannya yang kokoh: niat dan orientasi yang lurus. Begitulah Rasulullah menggambarkan, bahwa hati adalah panglima. Bila ia benar dan sehat, sehat pula seluruh aktifitas fisik pemiliknya. Sebaliknya, bila ia rusak, rusak pula segala tingkah laku fisiknya.

Di dalam hati kita, di dasar sanubari kita yang paling dalam, ada kekuatan yang sangat perkasa, sekaligus sumber kedamaian yang tiada tara. Di sanalah bersemayam fitrah dan jati diri ketundukan kita – juga setiap manusia – kepada Allah swt. Setiap manusia sejak kali pertama ditakdirkan ada, telah diikat dengan kepatuhan kepada tauhid, mengesakan Allah yang Maha Esa. Allah swt berfirman, “Dan (ingat-lah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Qs. Al-A’raf: 172).

Fitrah kemusliman atau ketundukan itu merupakan warna asli dari keseluruhan tabiat fisik dan psikis kita. Fitrah, yang dengannya rnanusia dititahkan, memberi kita sensor diri dan pelita penerang jalan. Dalam batasan kemanusiaan, petunjuk itu diberikan oleh suara hati nurani yang jujur. Dalam suatu kesempatan, Rasulullah pernah mengajarkan kepada seorang sahabat bagaimana cara sederhana menentukan sesuatu itu baik atau buruk; “istafti qalbaka”, mintalah fatwa kepada hatimu. Atau dalam kesempatan yang lain ia mengatakan, bahwa barangsiapa yang amal baiknya membuat hatinya suka, dan amal buruknya membuat ia gelisah maka dia itu muslim.

Artinya, dalam banyak hal, semestinya orang bisa bertanya kepada hati nuraninya apakah sesuatu itu baik atau buruk. Manusia diberi kemampuan untuk mengetahui secara standar apa saja yang layak atau tidak untuk dijalani. Manusia punya ukuran kepatutan kemanusiaan-nya. "Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (Qs. Asy-syams), Karenanya, manusia bila pun tidak mengerti banyak tentang ajaran wahyu Allah, semestinya ia masih bisa mendengar secara tulus apa suara hati nuraninya.

Tetapi kebesaran dan sekaligus kesulitan manusia terletak pada haknya untuk memilih antara benar dan salah, berdasarkan ilham itu. Maka Allah tidak saja mencukupkan kita dengan hati nurani. Pada saat yang sama Ia menurunkan wahyu serta mengutus para Rasul untuk mengajari manusia bagaimana mengelola insting-insting dasarnya, sekaligus mempertajam hati nuraninya. Di sanalah berpadu antara kelurusan tujuan, dengan dasar-dasar tabiat kemanusiaan. Melalui Al-Qur’an, Islam membimbing manusia bagaimana menitik-beratkan pada hasrat hidup bermakna (the will to meaning) sebagai motif asasi. Dengan kata lain, kita harus menjalani hidup ini dengan makna yang jelas, dengan rasa berarti yang sebenar-benarnya. Teori ini amat berlawanan arab dengan teori “hasrat untuk hidup senang" (the will to pleasure) model Freudian, maupun teori “hasrat hidup berkuasa” (the will to power) yang digaungkan Alfred Adler.

Konsistensi, stabilitas, ketenangan, kedamaian, juga kebahagiaan manusia, berbanding lurus dengan sejauh mana ia menyelaraskan diri dengan fitrahnya serta menghadapkan wajahnya ke jalan Islam. Bila manusia menyalahinya, akan menjadikan banyak unsur dalam kehidupan ini tidak bisa berfungsi dengan baik. Akan ada banyak ketimpangan dan kejanggalan. Kehidupan tidak berjalan di atas rel yang semestinya. Allah swt berfirman, “Dan barang-siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan." (Qs. Luqman: 22).

Fitrah yang telah ditetapkan atas diri manusia itu tidak akan berubah. Apapun peradaban dan kemajuan yang telah dicapai manusia. "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah Allah itu. Tidak ada penambahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Qs. Ar-Ruum; 30).

Seringkali suara hati nyaris tak terdengar, lantaran tersumbat oleh daki-daki hawa nafsu. Atau terselimuti dosa-dosa dan kemaksiatan. Mungkin, di antara kita pernah menjumpai hari-hari yang terasa gersang, kering, dan tak ada setetes pun kesegaran. Hidup seperti tak berdenyut dan nyaris tanpa gairah. Begitulah hati menjadi air muka kita, pahit atau manisnya. Ia juga menjadi ruh kehidupan kita, redup atau terangnya. Dalam makna ini, barangkali, kita menghayati penjelasan Rasulullah, bahwa Allah tidak melihat kepada tampilan lahiriah manusia, tetapi melihat kepada isi hati mereka.

Maka, mengotori hati dengan dosa, sama artinya dengan memadamkan cahayanya, mengacaukan jernih suaranya, dan memandulkan ketajamannya. Seperti ditegaskan Rasulullah saw, “Sesungguhnya, dosa-dosa itu bila terus menerus menimpa hati, maka ia akan menutupinya. Dan bila hati telah tertutup, akan datang kunci dan cap dari Allah swt. Bila sudah demikian, tak ada lagi baginya jalan, tidak ada jalan keimanan untuk masuk ke dalamnya, tidak juga jalan kekafiran untuk keluar darinya."

Tidak semua orang bisa mendengar suara hatinya. Banyak orang silau dengan kehidupan yang kian berwarna. Padahal, kebersihan hati tidak saja pelita di dunia, tapi juga bekal menghadap Allah swt. Kelak, ketika manusia diadili di hadapan Allah swt, pada hari ketika anak dan harta tidak berguna, hanya hati yang bersihlah yang bisa mengantarkan manusia menghadap Allah, “Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (Qs. Asy-Syu’ara: 89).

Saatnya kita sesering mungkin mendengarkan suara hati, dengan tulus, jujur dan penuh kelapangan. Suara hati kita, nurani kita, kata hati kita, adalah jati diri keaslian kita. Akankah kita mengkhianatinya? –wallahu’alam-

By, Anis Matta

Kita diberitahu bahwa bakat menciptakan kesempatan-kesempatan, tetapi terkadang kelihatan bahwa hasrat yang kuat bukan saja menciptakan kesempatan-kesempatan, namun juga bakat-bakat. (Eric Hoffer)


Sifat cinta sama seperti sifat air dalam tanah. Apabila anda tidak cukup menggali, yang anda peroleh adalah air yang keruh. Apabila anda cukup menggali, yang anda peroleh adalah air yang bersih dan jernih. (Hazrat Inayat Khan)


Urusan kita dalam kehidupan ini bukanlah untuk melampaui orang lain, tetapi untuk melampaui diri kita sendiri, untuk memecahkan rekor kita sendiri, dan untuk melampaui hari kemarin dengan hari ini. (Stuart B.Johnson)


Seorang pemimpin adalah orang yang melihat lebih banyak dari pada yang dilihat orang lain, melihat lebih jauh daripada yang dilihat orang lain, dan melihat sebelum orang lain melihat. (Leroy Eims)


Apa perbedaan antara hambatan dan kesempatan? Perbedaannya terletak pada sikap kita dalam memandangnya. Selalu ada kesulitan dalam setiap kesempatan; dan selalu ada kesempatan dalam setiap kesulitan. (J. Sidlow Baxter)






Kemarau

Kemarau bulan ini

Adalah akhir sebuah penantian

Yang terasa begitu pedih...panjang

Kemarau bulan ini

Mengubah isi hati yang telah ada

Di sela isi hati jiwa dan nuraniku

Dalam sepi...kan kugapai angan dan harapan

Satu...ketika rasa itu ada

Ketika menjelang fajar tiba

Segalanya kan kututup dengan rasa itu

Ya...rasa yang sempat hilang

Saat ini ada yang masih redup

Dalam kesendirian

Yang butuh kesabaran...

Saat ini ada yang masih basah

Saat terungkap segala yang pernah ada...

Mungkin tatkala kita bernaung di satu sisi

Yang sama dan terarah dalam harapan

Kemarau bulan ini

Telah mengubur yang membakar

Telah meredam yang mencuat

Telah mengobati yang terluka

Dengan belaian kasih

Mungkin dengan satu pertanyaan

Kali ini ada yang tak pernah terlahir

Kelalaian dan kasih sayang

Adalah satu dan kesekian kalinya

Yang pernah tersingkir untuk digapai…

Apakah aku merupakan bagian dari perjalanan

Ataukah akhir dari…petualanganmu…?


Tanda kasih untuk yang tak pernah menjadi "kekasih"

Bogor, Juni 1996

Cinta

Jangan Tanya kapan lahir cinta

Karna cinta bukan bocah dalam rahim

Jangan Tanya kemana matinya cinta

Karna cinta bukanlah perigi

Yang mati sesaat hidup kembali

Tanyalah pada nurani

Dari manadatangnya cinta

Sebab cinta ada pada nurani yang suci

Tanyalah pada hati

Dari mana datangnya rindu

Karena rindu adalah pada hati yang sunyi


Bogor, 23 September 2000

Satu Malam

Satu malam mengingatkan kami

Pada sebuah pantai diujung kota

Layar-layar mengembang

Menyebarkan aroma asmara

Purnama tersenyum tipis Mengalungkan irama romantis

Dan disini pertama kami bercinta


Satu malam mengingatkan kami

pada sebuah restoran

yang menghilang dalam kelokan

terkantuk malam bersapa angin

meninggalkan basah

pada kuntum dan bunga

dan disini pertama kami terkesan


Satu malam mengingatkan kami

pada sebuah bangku dipuncak gunung

yang menghilang dalam kelokan

temaram lampu kota

adalah senandung sinar buat kami

dan disini pertama kami tak mungkin terurai


Satu malam mengingatkan kami

pada sebuah ruang sederhana disekitar pesawahan

selepas senandung tiga Yasin

seusai pergantian buku

langit getar teriring syahdu syahadat

disini, pertama kami arungi samudera baru


Satu malam mengingatkan kami

pada sebuah ruang disekitar pesawahan

dalam dingin angin

batang-batang pisang menancap perih

sedang daunnya melambai lemah

tak kuas melarangmu terbang jauh

disini, pertama kami mengeluh karena kenangan


Satu malam mengingatkan kami

Bogor, Februari 2000

Tuesday, February 27, 2007

Catatan Kecil Untuk Kekasih

Kasih...
sampai dimanakah kita
sementara benang hitam
semakin bertambah dalam perjalanan waktu
dan dibatas cakrawala
kereta kencana baru mulai melangkah
Kasih...
sampai dimanakah kita
entahlah...yang jelas baru koma
dan tanda tanya bertebaran di sekitar kita
Kasih...
menjelmalah terus menjadi bidadari sakti
yang terbang menyongsong matahari
biar kuhabiskan perjalanan ini sendiri
asal tak kau renggut belaian abadimu
dalam nyanyian jiwa ini

Untuk "kekasih" yang tak pernah menjadi kekasih

Terminal Penantian

Ada yang luut kurebut dari tanganmu
sejarah bertautan hitam dan putih
berawal dari kebekuan dan kebisuan
yang membawa persoalan ganjil menjadi larut

Segala bahasa telah sirna
jalan-jalan membusuk dicatatanku yang membisu
suara kitapun dibiarkan melaju dalam arus waktu
yang bergerak tanpa lagu kenangan
dan terus berjalan mengikuti bayang rembulan

Bermil-mil telah kita susuri kebisuan yang telah merenggut
tapi kita tak juga berhenti
saatnya kini kita nyanyikan
lirik lagu yang kuliris dari semak belukar
dibawah lengan mawarku
kita tepis curiga yang menyeka hari-hari basah
diterminal penantian..
ita kecup jalan hidup

Untuk "kekasih" yang tak pernah menjadi kekasih
Bogor, Februari 1997

Duniaku Tanpa Kulit

Dipadang kemarau
aku berlari menjemput matahari
dan kesekian kalinya
aku kembali menggigil

Bintang-bintang ku dekap
tuk mencoba menarikan lagu tuhan
sampai habis...sampai tuntas
namun kulit mukaku
kembali terkelupas...lepas

Kupejamkan mata agar jadi semesta
kuheningkan ratapanku
kukekalkan kerinduanku
kupahami bahasa jiwa
namun kembali...
kulit mukaku terkelupas
penyesalanku sempurna!
serasa lampu temaram
melukiskan garis kematian

Untuk "kekasih" yang tak pernah menjadi kekasih
Bogor, Februari 1997

Cakrawala kelabu

dari lapis senjakala
musim demi musim berganti
melepaskan kepergianku ke puncak kehampaan
menggigil... diantara lagu-lagu yang perih
ditelingaku

Ada sejumlah catatan hitam
juga puisi-puisi luluh
dalam erangan dan mabuk kesunyian

Dibawah cahaya matahari yang gemetar
aku mendekap serbuan airmata
mengucapkan sesuatu yang kini tiada
juga jeritanku yang memanjang dari letih
menyusun lengkung cakrawala
semuanya berwarna kelabu
dan melukiskan garis-garis kehampaan

Untuk "kekasih" yang tak pernah menjadi kekasih
Bogor, januari 1997

Landskap Fatamorgana

Sewaktu hujan menumpas malam
hingga bulanpun tenggelam
aku mengembara gemuruh kesunyian
menjemput fajar demi fajar
dari upuk hatimu yang jauh

Kepedihan telah kau hanguskan
dengan lelehan sinar mata
mulut telah kau jejali lumpur
yang menutup semua ungkapan panjang hasratku

Ditangga kelam ke-enam
bersama jerit pipit melintas
dengan jari ku lukis wajahmu
tapi... mungkinkah ku tulis garis di atas air

Dari ambang kehidupan yang luka
dalam kekosongan gemuruh jiwa
aku terus meyusun jalan perih
melayang dalam badai

Sementara...pertanyaan telah menggenang
menjadi laut
dan kucoba mengailnya satu persatu:

Dimana rasa...

Dimana asmara...

Dimana cinta...


Aku masih tak mengerti
berdiri memandang ombak ke arahmu
yang terselubung bunga dan fatamorgana

Terkerat kenangan berkelok-kelok
seperti genangan waktu
akupun menyisih bersama waktu
kuikuti cahaya temaram
batinku menyala
sampai kupahami
bahasa yang dikirim mata

Untuk "kekasih" yang tak pernah menjadi kekasih
Bogor, januari 1997

Aku

Aku adalah ketakjelasan
Aku adalah menjadi
yang suatu saat bisa di timur
Lain saat bisa di barat

Aku adalah proses
Aku adalah perubahan
Yang bisa menghijau seperti tumbuhan
Bisa menguning seperti padi
Bisa pula terciprat merah darah...

Aku adalah ketaktentuan
Aku adalah kemajemukan
Yang bisa teler dengan bir bintang...
Bisa tergeletak di bawah pohon beringin ....
Bahkan bisa pula terpuruk di seruduk banteng ...

Aku tidak dimana- mana
Tapi ada di mana-mana
Aku ketidakjelasan
Karena Ketidakjelasan adalah kejelasanku
Aku adalah kebebasan
Namun kebebasan adalah ikatanku

Jangan tanya Aku kenapa... bagaimana... atau
bilakah?
karena aku...
Adalah kamu... adalah dia.....adalah mereka
Aku adalah kemanusiaan !

Bogor, 1 januari 1997

Musibah

Catatan KH. Mustofa Bisri

Dulu, ketika kita mendengar ada badai hebat di Amerika, Bangladesh, hingga Filipina; banjir meluap di Tiongkok, Brazil, hingga Korea; gempa dahsyat di Rumania, Meksiko, hingga Jepang; kapal tenggelam di Inggris, Italia, hingga Rusia; kecelakaan kereta api di Argentina, Skotlandia, hingga Jerman; kecelakaan pesawat di Turki, Prancis, hingga Sri Lanka; kebakaran hutan di Amerika, Tiongkok, hingga Australia; ledakan di Irlandia, Iraq, hingga Pakistan; pertumpahan darah di Timur Tengah, India, hingga Afghanistan; dan musibah-musibah lain yang terjadi di berbagai belahan dunia, setiap kali kita hanya sebentar ikut prihatin, lalu diam-diam atau terang-terangan merasa lega dan bersyukur bahwa tempat-tempat musibah tersebut jauh dari kita.

Sekarang, ketika musibah-musibah itu, plus musibah lumpur panas, secara beruntun terjadi di tanah air, masih juga banyak orang yang jauh dari tempat musibah bereaksi sama. Ikut prihatin sebentar, lalu diam-diam atau terang-terangan bersyukur bahwa bukan mereka yang terkena.

Karena beruntun, setidaknya dalam dua tahun belakangan, banyak pula yang terusik dan bertanya-tanya: Ini ada apa? Ini cobaankah, peringatan, atau siksa dari Tuhan?

Memang, ada beberapa ayat suci yang jelas-jelas menyatakan bahwa musibah dan kerusakan adalah akibat ulah manusia (misalnya, Q.4: 62; 28: 47; 30: 36, 41; 42: 48). Namun, dalam menjabarkan ayat-ayat itu, berbeda-beda hujah orang. Ada yang dengan nada keminter menyalahkan pihak-pihak selain dirinya. "Alam itu memiliki karakter yang tetap," katanya; "Gunung, laut, angin, dsb sama saja tidak pernah berubah. Jadi, bisa dipelajari. Seharusnya para ilmuwan dapat memberikan masukan informasi kepada pemerintah dan masyarakat. Semestinya pemerintah sudah mengantisipasi gejala-gejala alam itu. Apa kerja Badan Meteorologi dan Geofisika itu?"

Dari mereka yang suka menyalahkan itu, ada yang lucu; menyalahkan presiden yang dianggap membawa sial dan seharusnya diruwat.

Ada pula yang agak memper, menyalahkan orang-orang yang suka merusak alam. Menurut mereka, alam marah kepada manusia yang terus-menerus melukainya. Bukan hanya manusia yang bisa kecewa, marah, demo, dan ngamuk. Alam pun bisa.

Ada yang lebih kehambaan dengan mengakui bahwa semua ini akibat dosa masal terhadap Tuhan pencipta manusia dan alam. Dosa kita semua. Jadi, tidak relevan dan sia-sia apabila hanya saling tunjuk, menganggap pihak lain saja yang berdosa, seolah-olah masing-masing merupakan wakil Tuhan.

Semua aturan Tuhan dilanggar beramai-ramai. Diangkat menjadi khalifah di kehidupan di dunia, tidak merawat dan mengelolanya secara baik, malah merusaknya. Mereka yang merasa benar tidak mau membenarkan, malah hanya menyalah-nyalahkan. Mereka yang berkesempatan berkorupsi tidak ditutup kesempatannya berkorupsi, malah dipupuk dan diberi peluang.

Hukum yang seharusnya menata malah ditata. Penegak hukum yang melencengkan hukum tidak dibantu menegakkan, malah didorong untuk terus melencengkannya. Kenakalan remaja dan kenakalan orang tua merajalela. Amuk di mana-mana.

"Karena dosa masal, untuk menghentikan hajaran Tuhan ini, tiada lain kita semua mesti melakukan tobat masal," kata sohibul pendapat itu.

Saya sependapat dengan pikiran tersebut karena saya sendiri juga melihat kenyataan perikehidupan kita yang seperti itu. Saya setuju dan mendukung anjuran tobat masal, tapi tidak dengan pengertian yang sederhana. "Hanya" ramai-ramai istighotsah secara seremonial, nangis-nangis minta ampun kepada Tuhan, lalu sudah.

Tobat yang saya dukung adalah tobat yang sesungguhnya. Masing-masing mengidentifikasi kesalahan sendiri dan menyesalinya, lalu bertekad tidak mengulangi. Mereka yang merasa pernah merampas hak orang lain segera mengembalikan atau meminta ikhlas dari pihak yang terampas. Misalnya, pejabat yang pernah mengorupsi harta rakyat, segeralah mengembalikan. Atau, jika telanjur habis termakan, mengadakan konferensi pers untuk memohon keikhlasan dari rakyat.

Mereka yang pernah atau sering nyogok atau menerima sogok, segera berhenti dan berjanji tidak akan mengulangi. Mereka yang karena memiliki kelebihan, baik berupa kekayaan, kepintaran, maupun kekuasaan, hendaklah segera menyadari bahwa itu semua adalah anugerah Tuhan yang seharusnya disyukuri, bukannya dijadikan alasan untuk angkuh serta merendahkan orang lain.

Mereka yang suka memutlakkan pendapat dan kebenaran sendiri hendaklah segera menyadari bahwa kebenaran mutlak hanya milik Allah dan mulai belajar menghargai pendapat orang lain. Demikian seterusnya. Kemudian, baru dengan tulus dan khusyuk memohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Pengampun.

Kesalahan-kesalahan yang telanjur dilakukan karena kebodohan serta kecerobohan harus diakui dan diusahakan memperbaiki dengan belajar atau menghindarinya sama sekali. Misalnya, karena pengetahuan kita mengenai bencana alam dan penanganannya masih minim, kita harus mengakui dan belajar.

Misalnya, karena nasib baik atau KKN, seseorang diangkat dan diserahi tugas yang tidak begitu dikuasainya, lalu timbul kesalahan, dia bisa memperbaiki dengan belajar. Tapi, bila tugas tersebut sama sekali di luar kemampuannya, segera saja mundur. Sebab, kesalahannya akan beranak-pinak.

Karena itu semua adalah pendekatan kehambaan, kuncinya adalah kerendahhatian. Tanpa sikap rendah hati, tobat akan sia-sia belaka.

Waba'du, meskipun wadag kita dari lumpur, tidak seharusnya kita bersikap seperti lumpur Porong yang seenaknya sendiri, merusak ke sana kemari, susah diatur, tidak jelas maunya. Sebab, dalam wadag kita, Allah meletakkan cahaya penerang: akal dan hati nurani.


Kultur Kita

Kembali dari keramaian sensasi
daun-daun menua melantunkan syair-syair
bisu...
beulang kali kuziarahi keterpurukan
sambil menoreh catatan di pasir pantai

kuharap tak ada tangisan, katamu...
maka diletih penantian itu
aku membungkam sedu sedan
selalu... kucoba menanam bunga
tapi angin melemparkannya ke udara
dan burung-burung liar
merasangnya dengan gairah

Hingga serangkum bunga
kembali tergeletak
menggeliatkan lenguhan penantian
sedang potretmu...
kembali menjadi bingkai
dalam pekuburan jiwa

Untuk "kekasih" yang tak pernah menjadi kekasih
Bogor, Desember 1996

Penjara

Terik itu ...
telah mengeringkan jiwa
memantul luka duka
meresapi bara lara
dalam keabadian !

Kita terpenjara dalam diri
nurani terhalang
rasa terbungkam
kepercayaan terhadang !

Bergolak...
Bersorak...
Berontak...
Kembali sesak !

Mengamuk...
Mengutuk...
Merutuk...
Kembali terpuruk !

Dalam penjara bisu
penjara diri
penjara rasa...

Untuk "kekasih" yang tak pernah menjadi kekasih...
Bogor, Oktober 1996

Sumpah

Lelah sudah...
kuhilangkan debu dalam diriku
Letih sudah...
kurangkai sukmaku di persimpangan

Harap diri menanti basah
namun jiwa meraung asap kesunyian
sukma terus bergelut dalam keterbatasan

Kini...
Lelah harap tak letih
kan ku rangkai persimpangan jiwa
dalam ledakan sukma
kan ku sua eksistensi diri

Wahai...
pedih di puncak letih
inilah sumpah di akhir lelah !!!

Bogor, Juni 2001

Kulit dan Daging

Ini bukan puisi Rumi
bukan pula sajak bersajak
ini hanya sebuah ekspresi nilai
tentang persaingan daging dan kulit
yang lahir dari perebutan hak neraka dan surgawi
sekaligus persetubuhan hak dan batil

Kulit melindungi kita untuk berwujud
tapi apalah artinya kulit
kalau wujud dan isi tiada

Daging membuat kita berkeharusan
tapi apalah artinya keharusan
kalau tidak dilindungi simbol

Ternyata ini bukan persaingan ridla Ilahi
bukan pula pemilu hak dan bathil
ini..
hanyalah sebuah kerancuan ekspresi nilai

Bogor, September 2000

Garis Jiwa

Lengking azan
Menghentak nurani tak berohani

Gema iqomat
menegur jiwa dalam laknat

Gemuruh takbir
menyadar diri dalam tabir

Sentuhan fatihah
menusuk sukma yang kian resah

Tawaran salam
menyayat hati dalam kelam

Wahai...
kuasa tak terkuasa
Garis jiwa
Putus serasa
dalam dosa

Bogor, Oktober 2000

Potret Kecil Kebesaran Allah SWT

Saya yakin banyak diantara kita ; saya, anda atau mereka-mereka yang pernah bahkan bosan dengan photo-photo ini. Tapi sekali lagi, mari kita tafakuri... tentang apa yang terjadi dengan fenomena alam saat ini. Fakta seperti ini bukan hanya untuk dilihat lalu mengucap "Allahu Akbar" atau "Subhanallah" untuk sesaat... tapi lebih jauh untuk kita tafakkuri dan ambil pelajaran darinya. Seperti bait syair Ebiet, sudah saatnya kini kita bertanya kepada rumput yang bergoyang....


Pohon yang sedang ruku mengarah kiblat. Pohon aja Sholat...mungkin sekali-kali kita harus belajar dari pohon.



Sebuah terong dengan Lafdzul Jalalah didalamnya ditemukan oleh seorang ibu disaat Jakarta sedang terendam banjir awal Februari 2007 yang lalu.


Jilatan api Lapindo yang membentuk lafdzul Jalalah. Sebuah peringatan tentang kerusakan alam ? sangat mungkin. Dari jilatan api pada huruf "alif" yang membentuk kepala kuda laut seperti lambang "Pertamina". wah...mungkinkah pertanda... ???


dan pohon pun bertahlil...bagaimana dengan kita yang berakal ?



Bayi kembar yang terlahir dengan lafdzul jalalah di kening mereka.


Lebah ajaib, bergerombol membentuk lafdul Jalalah...

Sunday, February 18, 2007

Datangnya Generasi Bencana

Beberapa waktu lalu kita memiliki satu tokoh kanibal bernama Sumanto, kini ada seorang tokoh lainnya yang dijuluki Sumanti. Kasus Sumanti tak kalah seramnya dengan Sumanto. Sumanti dilaporkan agak terganggu jiwanya dan hamil di luar nikah. Tidak ada orang yang tahu kapan Sumanti melahirkan. Beberapa warga memergoki seorang bayi yang hangus terbakar di dekat kompor serta ditemukan pula potongan beberapa tulang berserakan di dekat tempat Sumanti tergeletak. Ada dugaan Sumanti telah "melahap" anaknya. Na'udzubillahi mindzalik.


Belum lama berselang, seorang ibu di Bandung yang dikenal shalihah, tega membunuh tiga orang anaknya karena khawatir akan masa depan mereka. Hal ini masih diperparah dengan berpulangnya Riza, seorang siswa SMP kelas tiga yang diduga menjadi korban smack down kawan-kawannya.


Di televisi kita pun menyaksikan begitu banyak bayi-bayi kembar siam (dempet) yang lahir di berbagai kota. Selain banyak pula bayi cacat dengan organ atau anggota tubuh tak lengkap yang terlahir dari pasangan yang sempurna. Tak terhitung pula kasus penyakit-penyakit kejiwaan yang menjadi fenomena di masyarakat, mulai dari stres berat, depresi, hingga fenomena bunuh diri.


Dampak kapitalisme


Gejala apakah ini? Bila selama ini kita tak kuasa menyaksikan bencana alam yang datang silih berganti, maka kini tiba saatnya bencana dalam dimensi lain siap menghadang. Itulah bencana dalam dimensi psikobiologis. Sejatinya, fenomena ini berawal dari semakin menggejalanya budaya kapitalisasi dan materialisme. Segala sesuatu kini diukur dengan uang dan kenyamanan. Uang menjelma menjadi tuhan baru. Karena itu, perilaku sebagian besar manusia pun berubah. Penganut gaya hidup instan semakin bertambah. Setiap masalah dan proses kehidupan selalu ingin kita mudahkan, ringkaskan dan cepat diselesaikan.


Fenomena ini mewujud dengan maraknya penggunaan bahan pengawet makanan ilegal, penyedap rasa melebihi takaran, penggundulan hutan, kabut asap, kecelakaan transportasi karena tingginya tingkat kelalaian operator dan rendahnya kualitas infrastruktur. Belum lagi ketidakpastian hukum, praktik korupsi dan budaya menyontek di sekolah serta perguruan tinggi, prostitusi, dan tentu saja praktik-praktik mutilasi harga diri.


Benang merah dari semua subfenomena itu adalah terjadinya pergeseran orientasi di mana tujuan hidup jadi lebih sederhana dan sementara. Hal ini diperparah dengan makin sengitnya perlombaan menuju tercapainya kesejahteraan melalui akses sumber keuangan. Padahal, pergeseran orientasi hidup untuk terus menghamba kepada uang akan melahirkan tekanan beruntun yang akan berakhir dengan depresi.


Pertanyaan berikutnya, mengapa kapitalisasi dapat mempengaruhi kualitas dan derajat kesehatan penduduk Indonesia? Mari kita bayangkan bila semua produsen consumers good serempak janjian dan secara serentak pula menaikkan harga yang mereka anggap pantas, maka kita semua akan tertekan karena faktor pemenuhan kebutuhan semakin sulit dicapai. Dalam kondisi seperti ini hormon cemas kita akan meningkat. Akibatnya sistem pertahanan tubuh pun akan menurun, sehingga kemungkinan mengalami kondisi sakit pun makin bertambah.


Kemungkinan lain adalah over eksploitasi sumber daya alam, hal ini terjadi karena tuntutan kebutuhan sebuah masyarakat konsumer yang pro kapitalis akan terus meningkat. Dampak yang terjadi adalah menurunnya daya dukung lingkungan, semakin bertambahnya upaya-upaya instan dan murah, serta berubahnya pola pengambilan keputusan. Akibat psikobiologis yang dapat teramati adalah banyaknya kelainan genetis yang diakibatkan oleh polutan, makanan yang kurang sehat, dan faktor stres internal.


Sebagian besar kasus-kasus psikobiologis yang terjadi hanyalah sepenggal dari proses panjang investasi bencana di masa yang lalu. Bayi-bayi cacat adalah bentuk pertanggungjawaban kita secara fardhu kifayah karena tidak berperan aktif dalam mengoptimalkan fungsi lingkungan, makanan dan gaya hidup. Meningkatnya persentase pengidap penyakit kelainan jiwa menjadi bagian integratif semua itu. Fenomena Sumanto-Sumanti dan lainnya adalah bagian dari bencana yang kita rancang, kerjakan, dan rasakan sendiri hasilnya. Ketidakpedulian kita selaku khalifah terhadap hal-hal di sekitar kita ternyata berbuah malapetaka.


Dampak media


Malapetaka terbesar yang kini harus kita hadapi adalah dampak media. Bila Riza meninggal karena di-smackdown, maka itu belum seberapa. Sesungguhnya dampak terbesar yang telah ditanamkan acara semacam itu adalah perubahan jaras pengambilan keputusan dan sistem asosiasi preferensi di benak kita. Mereka yang terbiasa mengedepankan lintas pro-adrenergik akan menjadi orang yang menggunakan pendekatan kekerasan, menghalalkan segala jalan, mencari cara termudah, sangat menyukai kesenangan, kenyamanan serta kenikmatan. Dengan kata lain generasi penonton smackdown ini akan tumbuh dan berkembang menjadi generasi hedonis sejati. Kita akan lihat dampaknya 10 atau 20 tahun ke depan saat mereka sudah menjadi golongan pemimpin di berbagai tingkatan.


Lihatlah pengalaman pahit sejarah peradaban umat manusia sebelumnya. Bangsa Romawi menjelang kejatuhannya tergila-gila kepada acara gladiator yang menyabung manusia sampai tewas salah satunya. Lalu di malam-malam hari kota Roma akan menjadi ajang Caligula, pesta seks yang gila-gilaan mengumbar nafsu syahwat. Seiring budaya tersebut, kita pun melihat "kegilaan" lainnya. Eksploitasi kaum perempuan dan perbudakan sesama manusia marak di mana-mana.


Bencana psikobiologis dapat terjadi karena tayangan-tayangan tersebut seolah menjadi materi pembelajaran yang akan langsung diimitasi, direpilkasi, dan dikembangkan. Bahkan sebagian di antaranya diangkat menjadi memori jangka panjang yang sangat menentukan.


Dalam kesempatan ini saya hanya ingin mengingatkan bahwa kita akan dihisab berdasar aktifitas kita beserta dampaknya lengkap sampai proses turunan dan ikutannya. Para produser acara televisi, pemilik televisi, pelaku atau aktornya, pembawa acara, pegawai transmisi televisi, pemerintah, pengawas pertelevisian, dan tentu juga kita semua yang lalai dengan tidak saling mengingatkan akan dimintai pertanggungjawaban. Tauhid Nur Azhar

Hidup Jangan Tertidur

Untuk dapat menikmati hidup, hal terpenting yang perlu Anda lakukan adalah menjadi SADAR. Inti kepemimpinan adalah kesadaran. Inti spiritualitas juga adalah kesadaran. Banyak orang yang menjalani hidup ini dalam keadaan ''tertidur.'' Mereka lahir, tumbuh, menikah, mencari nafkah, membesarkan anak, dan akhirnya meninggal dalam keadaan ''tertidur.''


Analoginya adalah seperti orang yang terkena hipnotis. Anda tahu di mana menyimpan uang. Anda pun tahu persis nomor pin Anda. Dan Andapun menyerahkan uang Anda pada orang tidak dikenal. Anda tahu, tapi tidak sadar. Karena itu, Anda bergerak bagaikan robot-robot yang dikendalikan orang lain, lingkungan, jabatan, uang, dan harta benda.


Pengertian menyadari amat berbeda dengan mengetahui. Anda tahu berolah raga penting untuk kesehatan, tapi Anda tidak juga melakukannya. Anda tahu memperjualbelikan jabatan itu salah, tapi Anda menikmatinya. Anda tahu berselingkuh dapat menghancurkan keluarga, tapi Anda tidak dapat menahan godaan. Itulah contoh tahu tapi tidak sadar!


Ada dua hal yang dapat membuat orang menjadi sadar. Pertama, peristiwa-peristiwa pahit dan musibah. Musibah sebenarnya adalah ''rahmat terselubung'' karena dapat membuat kita bangun dan sadar. Anda baru sadar pentingnya kesehatan kalau Anda sakit. Anda baru sadar pentingnya olahraga kalau kadar kolesterol Anda mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Anda baru sadar nikmatnya bekerja kalau Anda di-PHK. Seorang wanita karier baru menyadari bahwa keluarga jauh lebih penting setelah anaknya terkena narkoba. Seorang sopir taksi pernah bercerita bahwa ia baru menyadari bahayanya judi setelah hartanya habis.


Kematian mungkin merupakan satu stimulus terbesar yang mampu menyentakkan kita. Banyak tokoh terkenal meninggal begitu saja. Mereka sedang sibuk memperjualbelikan kekuasaan, saling menjegal, berjuang meraih jabatan, lalu tiba-tiba saja meninggal. Bayangkan kalau Anda sedang menonton film di bioskop. Pertunjukan sedang berlangsung seru ketika tiba-tiba listrik padam. Petugas bioskop berkata, ''Silakan Anda pulang, pertunjukan sudah selesai!'' Anda protes, bahkan ingin menunggu sampai listrik hidup kembali. Tapi, si penjaga hanya berkata tegas, ''Pertunjukan sudah selesai, listriknya tidak akan pernah hidup kembali.''


Itulah analogi sederhana dari kematian. Kematian orang yang kita kenal, apalagi kerabat dekat kita sering menyadarkan kita pada arti hidup ini. Kematian menyadarkan kita pada betapa singkatnya hidup ini, betapa seringnya kita meributkan hal-hal sepele, dan betapa bodohnya kita menimbun kekayaan yang tidak sempat kita nikmati.


Hidup ini seringkali menipu dan meninabobokan orang. Untuk menjadi bangun kita harus sadar mengenai tiga hal, yaitu siapa diri kita, darimana kita berasal, dan ke mana kita akan pergi. Untuk itu kita perlu sering mengambil jarak dari kesibukan kita dan melakukan kontemplasi.


Ada sebuah ungkapan menarik dari seorang filsuf Perancis, Teilhard de Chardin, ''Kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi.'' Manusia bukanlah ''makhluk bumi'' melainkan ''makhluk langit.'' Kita adalah makhluk spiritual yang kebetulan sedang menempati rumah kita di bumi. Tubuh kita sebenarnya hanyalah rumah sementara bagi jiwa kita. Tubuh diperlukan karena merupakan salah satu syarat untuk bisa hidup di dunia. Tetapi, tubuh ini lama kelamaan akan rusak dan akhirnya tidak dapat digunakan lagi. Pada saat itulah jiwa kita akan meninggalkan ''rumah'' untuk mencari ''rumah'' yang lebih layak. Keadaan ini kita sebut meninggal dunia. Jangan lupa, ini bukan berarti mati karena jiwa kita tak pernah mati. Yang mati adalah rumah kita atau tubuh kita sendiri.


Coba Anda resapi paragraf diatas dalam-dalam. Badan kita akan mati, tapi jiwa kita tetap hidup. Kalau Anda menyadari hal ini, Anda tidak akan menjadi manusia yang ngoyo dan serakah. Kita memang perlu hidup, perlu makanan, tempat tinggal, dan kebutuhan dasar lainnya. Bila Anda sudah mencapai semua kebutuhan tersebut, itu sudah cukup! Buat apa sibuk mengumpul-ngumpulkan kekayaan -- apalagi dengan menyalahgunakan jabatan -- kalau hasilnya tidak dapat Anda nikmati selama-lamanya. Apalagi Anda sudah merusak jiwa Anda sendiri dengan berlaku curang dan korup. Padahal, jiwa inilah milik kita yang abadi.


Lantas, apakah kita perlu mengalami sendiri peristiwa-peristiwa yang pahit tersebut agar kita sadar? Jawabnya: ya! Tapi kalau Anda merasa cara tersebut terlalu mahal, ada cara kedua yang jauh lebih mudah: Belajarlah MENDENGARKAN. Dengarlah dan belajarlah dari pengalaman orang lain. Bukalah mata dan hati Anda untuk mengerti, mendengarkan, dan mempertanyakan semua pikiran dan paradigma Anda. Sayang, banyak orang yang mendengarkan semata-mata untuk memperkuat pendapat mereka sendiri, bukannya untuk mendapatkan sesuatu yang baru yang mungkin bertentangan dengan pendapat mereka sebelumnya. Orang yang seperti ini masih tertidur dan belum sepenuhnya bangun.

Oleh, Arvan Pradiansyah, penulis buku You Are A Leader!

Pelajaran Pertama Kepemimpinan

Seorang raja yang sudah memasuki usia senja sedang mempersiapkan putranya agar suatu ketika kelak dapat menggantikan dirinya. Ia mengirim putranya pada seorang bijak untuk belajar mengenai kepemimpinan.


Setelah menempuh perjalanan panjang, bertemulah putra mahkota ini dengan si orang bijak. ''Aku ingin belajar padamu cara memimpin bangsaku,'' katanya. Orang bijak menjawab, ''Masuklah engkau ke dalam hutan dan tinggallah disana selama setahun. Engkau akan belajar mengenai kepemimpinan.''


Setahun berlalu. Kembalilah putra mahkota ini menemui si orang bijak. ''Apa yang sudah kau pelajari?'' tanya orang bijak. ''Saya sudah belajar bahwa inti kepemimpinan adalah mendengarkan,'' jawabnya. ''Lantas, apa saja yang sudah engkau dengarkan?'' ''Saya sudah mendengarkan bagaimana burung-burung berkicau, air mengalir, angin berhembus dan serigala melonglong di malam hari,'' jawabnya. ''Kalau hanya itu yang engkau dengarkan berarti engkau belum memahami arti kepemimpinan. Kembalilah ke hutan dan tinggallah disana satu tahun lagi,'' kata si orang bijak.


Walaupun penuh keheranan, putra mahkota ini kembali mengikuti saran tersebut. Setahun berlalu dan kembalilah ia pada si orang bijak. ''Apa yang sudah kau pelajari,'' tanya orang bijak. ''Saya sudah mendengarkan suara matahari memanasi bumi, suara bunga-bunga yang mekar merekah serta suara rumput yang menyerap air. ''Kalau begitu engkau sekarang sudah siap menggantikan ayahmu. Engkau sudah memahami hakekat kepemimpinan,'' kata si orang bijak seraya memeluk sang putra mahkota.


Syarat utama kepemimpinan adalah kemampuan mendengarkan. Manusia diciptakan dengan dua telinga dan satu mulut. Ini adalah isyarat bahwa kita perlu mendengar dua kali sebelum berbicara satu kali. Mulut juga didisain tertutup sementara telinga kita dibuat terbuka. Ini juga pertanda bahwa kita perlu lebih sering menutup mulut dan membuka telinga.


Prinsip dasar inilah yang sebetulnya perlu dipahami oleh seorang pemimpin dimana pun ia berada, apakah ia memimpin negara, perusahaan, organisasi, rumah tangga maupun diri sendiri. Semua masalah yang terjadi di dunia ini senantiasa bermula dari satu hal: Kita terlalu banyak bicara tapi kurang mau mendengarkan orang lain. Kita memiliki terlalu banyak statement (pernyataan), tetapi terlalu sedikit statesman (negarawan) yang ditandai dengan kemauan untuk mendengarkan pihak lain.


Tetapi, mendengarkan dengan telinga sebenarnya baru merupakan tingkat pertama mendengarkan. Seperti yang ditunjukkan dalam cerita di atas, seorang pemimpin bahkan dituntut untuk dapat mendengarkan hal-hal yang tak bisa didengarkan, menangkap hal-hal yang tak dapat ditangkap, serta merasakan hal-hal yang tak dapat dirasakan oleh orang kebanyakan.


Seorang pemimpin perlu mendengarkan dengan mata. Inilah tingkat kedua mendengarkan. Dalam proses komunikasi ada banyak hal yang tidak dikatakan tapi sering ditunjukkan dengan tingkah laku dan bahasa tubuh. Orang mungkin mengatakan tidak keberatan memenuhi permintaan Anda, tapi bahasa tubuhnya menunjukkan hal yang sebaliknya.


Seorang karyawan yang merasa gajinya terlalu rendah mungkin tidak menyampaikan keluhannya dalam bentuk kata-kata tetapi dalam bentuk perbuatan. Seorang yang merasa bosan dengan lawan bicaranya juga sering menunjukkan kebosanan itu lewat gerakan tubuhnya. Nah, kalau Anda tidak dapat menangkap tanda-tanda ini, Anda belum memiliki kepekaan yang diperlukan sebagai pemimpin.


Tingkat ketiga adalah mendengarkan dengan hati. Inilah tingkat mendengarkan yang tertinggi. Penyair Kahlil Gibran menggambarkan hal ini dengan mengatakan: ''Adalah baik untuk memberi jika diminta, tetapi jauh lebih baik bila kita memberi tanpa diminta.'' Kita memberikan sesuatu kepada orang lain karena penghayatan, rasa empati dan kepekaan kita akan kebutuhan orang lain. Disini orang tak perlu mengatakan atau menunjukkan apapun. Kitalah yang langsung dapat menangkap apa yang menjadi kebutuhannya. Komunikasi berlangsung dari hati ke hati dengan menggunakan ''kecepatan cahaya''.


Sayang, amat jarang pemimpin di Indonesia yang memiliki kepekaan ini. Jangankan di level ketiga, untuk sampai ke level pertama yaitu mendengarkan dengan telinga saja masih banyak yang belum mampu. Lihatlah apa yang terjadi pada masyarakat kita. Berbagai bencana yang dialami masyarakat, mulai dari banjir, gempa bumi, flu burung, hingga demam berdarah tidak ditanggapi pemerintah dengan serius.


Bahkan himbauan dari berbagai kelompok masyarakat kepada para politisi tertentu agar tidak mencalonkan diri karena tergolong politisi busuk dan pelaku KKN dianggap sebagai angin lalu. Orang-orang ini - bahkan yang sudah terbukti tidak mampu sekalipun - masih ngotot mencalonkan dirinya sebagai presiden. Karena itu, marilah kita berdoa agar negara ini tidak lagi dipimpin oleh orang yang ''tuli'', ''bisu'' dan ''buta''. Apalagi oleh orang yang ''buta'' hati nuraninya dan hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri.


Oleh: Arvan Pradiansyah, pengamat kepemimpinan dan penulis buku You Are A Leader!

Tiga Syukur Setiap Hari

Seorang wanita yang baru saja meninggal ternyata merindukan kehidupan yang baru saja ditinggalkannya. Ia berharap bisa ''mengunjungi'' kembali salah satu hari yang ''tidak penting'' yang pernah terjadi dalam hidupnya. Ketika harapannya dikabulkan, ia menyadari betapa selama ini ia menjalani hidupnya tanpa rasa syukur, seakan-akan semua itu sudah selayaknya menjadi miliknya.


Akhirnya kunjungannya itu menjadi beban berat yang tak tertanggungkan olehnya. ''Saya tidak menyadari,'' katanya dengan penuh sesal, ''Semua yang terjadi tak pernah kita sadari benar. Selamat tinggal, rumahku. suami dan putri kesayanganku.... Ibu dan ayah.... Selamat tinggal detak jam dinding dan bunga-bunga yang indah di pekarangan. Dan makanan dan kopi. Dan baju-baju yang baru diseterika dan air mandi hangat .... dan saat-saat tidur dan terjaga. Oh hidup, kau terlalu mengagumkan hingga orang tak menyadari betapa mengagumkannya engkau.''


Itulah salah satu adegan yang cukup menyentuh dalam sebuah drama karya Thornton Wilder - seorang pengarang Amerika -- berjudul Our Town. Wilder nampaknya ingin mengingatkan kita untuk senantiasa menikmati hari dengan penuh rasa syukur. Setiap hari sebetulnya adalah istimewa. Sayang, kita sering tak menyadarinya karena ''mata'' kita tertutup. Melalui tulisan ini saya ingin berbagi satu kiat untuk menikmati hidup yang indah. Saya menyebutnya ''Tiga Syukur Setiap Hari.''


Kiat ini sangat sederhana dan dapat Anda terapkan mulai hari ini juga. Menjelang tidur setiap malam, cobalah Anda cari tiga hal yang pantas Anda syukuri hari ini sebagai rahmat dan anugerah dari Tuhan. Tiga hal saja. Tidak sulit bukan?


Kalau kebetulan hari ini Anda mendapatkan berbagai ''kabar baik'' tentunya tak sulit melakukannya. Tapi, bagaimana kalau hari ini berlalu dengan berbagai kesulitan bahkan musibah: anak Anda sakit, dompet Anda hilang, Anda baru dimarahi atasan, mobil Anda ditabrak orang, atau orang tua Anda dirawat di rumah sakit. Kalau demikian apa yang harus kita syukuri?


Kalau pertanyaan itu yang Anda ajukan, nampaknya kita perlu memahami tiga hal berikut. Pertama, bersyukur sebetulnya tidaklah hanya dapat kita lakukan di saat senang, tetapi juga di saat susah. Kita perlu menyadari bahwa setiap musibah selalu mengandung 'rahmat' yang terselubung. Musibah adalah alat yang sangat ampuh untuk membuka mata kita pada banyaknya kenikmatan yang telah kita lupakan.


Kedua, dalam menerima musibah kita perlu senantiasa bersyukur bahwa hal itu tidaklah terlalu buruk. Falsafah Jawa mengenal istilah ''Masih untung.'' Ini sebuah cara pandang yang sangat spiritual. Belum lama ini anak saya yang berusia 3 tahun jatuh di kamar mandi sehingga kepalanya harus dijahit di rumah sakit. Sudah tentu kami sekeluarga sangat sedih dan prihatin. Tapi, malam itu saya masih bisa bersyukur karena ternyata luka yang dialaminya tak terlalu parah dan akan membaik dalam beberapa hari ke depan.


Paradigma ''Masih untung'' ini bukanlah sekadar untuk menghibur dan menyenang-nyenangkan diri. Sikap ini didasari oleh keyakinan mendalam bahwa Tuhan senantiasa melindungi kita. Bahwa rahmat selalu ada di sekitar kita betapa pun kecilnya. Ini akan mengubah penolakan menjadi penerimaan, kekacauan menjadi keteraturan, dan kekeruhan menjadi kejernihan. Lebih dari itu hidup kita akan senantiasa diliputi perasaan penuh. Apapun yang sudah kita miliki menjadi cukup, bahkan berlebih.


Ketiga, kita seringkali tak dapat menemukan hal-hal yang patut disyukuri karena kita sering merasa bahwa sesuatu itu sudah semestinya terjadi. Padahal, segala sesuatu tidak terjadi begitu saja. Semuanya karena rahmat Tuhan. Mungkin Anda tidak merasa mendapatkan hal istimewa pada suatu hari. Tapi, bukankah hari itu kita dan seluruh anggota keluarga sampai di rumah dengan selamat? Bukankah kita masih bisa menikmati makanan yang lezat? Bukankah jantung kita masih terus berdetak, nafas kita pun tak pernah berhenti? Bukankah kita masih dapat melihat, mendengar, berjalan, dan bekerja?


Hal-hal yang saya sebut di atas seringkali kita anggap sebagai sesuatu yang remeh, dan terjadi begitu saja. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Coba Anda saksikan acara Tali Kasih yang dipandu Dewi Hughes di sebuah televisi swasta. Anda akan sadar, bahkan mungkin sambil meneteskan air mata menyaksikan betapa banyaknya orang yang tak dapat menikmati hal-hal yang kita anggap remeh tadi. Menyaksikan acara-acara seperti ini akan membuka mata hati kita akan betapa banyaknya rahmat yang sering kita lupakan dalam hidup ini.


Pembaca yang budiman, mulai nanti malam cobalah kiat sederhana ini. ''Tiga Syukur Setiap Hari'' akan mengubah cara pandang Anda terhadap hidup. Dengan demikian Anda akan merasakan hidup yang begitu indah, penuh rahmat, berkecukupan, dan berkelimpah-ruahan. (Avan Pradiansyah)

Menumbuhkan Keberanian Berbicara Anak

Kemampuan berbicara di muka umum sangat penting dimiliki setiap Muslim. Hal ini berkaitan dengan adanya keistimewaan bagi umat Islam berupa perintah menyuruh makruf dan melarang kemungkaran bagi setiap individu Muslim. Ketrampilan berbicara di muka umum sangat menunjang kemampuan seseorang dalam mengemban amanat dakwah tersebut.


Berbicara di depan majelis bukan hal mudah bagi kebanyakan orang. Ketrampilan ini perlu dilatih dan dikembangkan sejak dini dari mulai anak pandai berbicara. Melatih keberanian anak berbicara pada orang lain untuk menyampaikan kebenaran itu memerlukan strategi dan pola pengajaran khusus. Kita semestinya meniru pola pengajaran Rasulullah SAW yang senantiasa memotivasi anak untuk berkompetisi agar berani berbicara di tengah-tengah majelis (forum).


Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim yang dipaparkan berikut ini. Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya di antara pohon-pohon di padang pasir ada sebuah pohon yang daunnya tidak gugur, dan sesungguhnya pohon itu adalah sebagai perumpamaan seorang muslim.


Ceritakan kepadaku apa yang dimaksud pohon itu?'' Lalu para sahabat menduga-duga mengenai pohon-pohon padang pasir itu. Dan diriku menduga bahwa pohon yang dimaksud adalah pohon kurma, namun saya merasa malu (mengutarakan). Kemudian para sahabat berkata, ''Ceritakanlah kepada kami, wahai Rasulullah, apa yang dimaksud pohon itu?'' Rasulullah menjawabnya sebagai pohon kurma.


Dalam suatu Riwayat Abdullah berkata, ''Lalu saya sampaikan hal itu kepada Umar, lalu beliau berkata, sungguh jika kamu mengatakan bahwa pohon itu adalah pohon kurma, niscaya lebih saya sukai daripada diam saja.'' Hadis di atas menggambarkan bentuk dorongan dan motivasi untuk berkompetisi dari Umar kepada anaknya, Abdullah, agar ia berani berbicara di tengah-tengah majelis orang-orang dewasa untuk mengemukakan gagasan di saat mereka sendiri tidak menemukan solusi terhadap suatu masalah.


Dengan cara-cara tersebut kita dapat memotivasi anak agar mampu mengemukakan ilmunya. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan, di antaranya:


1. Membiasakan anak-anak pergi ke majelis taklim atau acara sejenis dan mengkondisikannya agar terbiasa menyimak. Setelah itu ajukan pertanyaan kepada mereka seputar hal-hal apa yang telah disimaknya dengan kata-kata yang mudah dipahami dan mengandung motivasi. Dalam hal ini hendaklah kita memberi waktu yang cukup untuk berpikir seputar apa yang kita tanyakan. Selain itu kita boleh meminta mereka mengutarakan apa saja yang mereka pahami, bahkan yang hanya mereka dengar dari pembiacaraan taklim tersebut.

2. Mendampingi anak-anak dalam belajar bersama. Boleh dimulai dengan pengajuan masalah kesulitan belajar di sekolah dari masing-masing anak, atau kita memulainya dengan mengajukan pertanyaan seputar ilmu yang mungkin telah mereka dapatkan.

3. Metode cerita dapat juga kita gunakan dalam melatih keberanian berbicara pada anak. Kita boleh membacakan separuh cerita, lalu anak-anak menebak kelanjutan cerita. Atau cerita dibacakan oleh anak-anak secara bergilir lalu mereka mengungkapkan hal-hal yang dapat digali dari cerita itu, atau hikmah apa yang dapat dipelajari dari cerita tersebut.

4. Dalam keseharian hendaklah kita memberi perhatian dan bertanya seputar perasaan, kondisi fisik, atau masalah lainnya. Mereka akan lebih dekat dengan kita dan berani mengungkapkan segala perasaan mereka. Selanjutnya mereka juga akan terbiasa menyampaikan pemikiran mereka jika dibutuhkan.

5. Demikian halnya dengan keberadaan kita sehari-hari hendaklah mereka dimintai pendapat dan kritikan terhadap tingkah laku dan cara kita mendidik mereka. Kita akan mengetahui kekurangan kita, sekaligus melatih mereka mengemukakan pendapat dan meluruskan kesalahan orang lain.


Hal di atas hanyalah sebagian kecil dari banyak hal yang dapat kita lakukan. Apapun media, teknik, sumber, dan metode pengajaran yang diberikan kepada anak-anak kita dapatlah menjadi alat untuk menumbuhkan potensi berbicara mereka. Dalam pelaksaannya ada hal penting yang perlu kita tanamkan. Mereka hendaklah mengetahui konsep berbicara yang benar, yang tidak menyinggung perasaan orang lain, yang sesuai dengan tuntunan Islam, dan semuanya itu penting untuk memenuhi amanat dakwah. Wallahua'lam. (Hali Al-Khimar/dari berbagai sumber).

Mendidik Anak dengan Mendidik Diri

Anak harus diarahkan agar ia mampu mencurahkan segala potensi yang dimilikinya untuk memberi manfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Anak adalah karunia Allah yang "harganya" tidak dapat dinilai dengan uang. Demikian berharganya, orangtua dituntut untuk serius dalam membimbing dan mendidik mereka. Dan, mendidik anak tidak sekadar menjadikan mereka cerdas, kreatif, terampil, atau sehat secara fisik. Yang tak kalah penting adalah bagaimana menjadikan dia manusia berakhlak mulia.

Setidaknya, ada tiga akhlak mulia yang harus diajarkan pada anak, yang terangkum dalam rumus 3A. Yaitu: Aku Aman Bagimu, Aku Menyenangkan Bagimu, dan Aku Bermanfaat Bagimu. Pertama, Aku Aman Bagimu. Anak harus dilatih agar tidak merugikan orang lain. Sehebat apapun seorang anak, kalau kehadirannya selalu merugikan orang lain, maka kehebatan tersebut tidak ada artinya. Rasulullah SAW bersabda, "Seorang Muslim yang baik adalah yang orang lain aman dari gangguan lisan dan tangannya".

Karena itu, penyakit hati yang terangkum ke dalam kata TENGIL (Takabur, Egois, Norak, Galak, Iri Dengki, Licik), harus benar-benar dijauhi. Kalau anak sudah terkena penyakit TENGIL, maka ia berpotensi menjadi manusia "berbahaya". Untuk menerapkan prinsip Aku Aman Bagimu, orangtua harus memulainya dengan menjadikan dirinya aman bagi anak-anak. Ciri berhasilnya orangtua menerapkan A yang pertama ini adalah saat anak mau curhat. Kalau anak tertutup atau tidak mau curhat, maka ada masalah dengan orangtuanya. Hal ini berpotensi melahirkan komunikasi yang tidak sehat di keluarga.

Setelah itu, pendidikan bisa dilanjutkan ke tahap kedua, yaitu Aku Menyenangkan Bagimu. Anak harus dilatih agar keberadaannya menyebabkan orang-orang di sekitarnya merasa tenang dengan nyaman. Rumus yang bisa diterapkan dengan tahap kedua ini adalah 5 S (Senyum, Salam, Sapa, Sopan, dan Santun). Bimbing anak-anak kita menjadi orang yang murah senyum, royal memberi salam, gemar menyapa, sopan dan santun dalam bergaul.

A yang ketiga adalah Aku Bermanfaat Bagimu. Anak harus diarahkan agar di mana ia ada, maka orang-orang di sekitarnya merasakan manfaat keberadaannya. Jadi, anak harus diarahkan agar ia mampu mencurahkan segala potensi yang dimilikinya untuk memberi manfaat bagi orang lain. Usahakan agar anak selalu berpikir bagaimana ia mampu memberi manfaat dan memberi manfaat. Kalau ia pintar, maka ia bisa memintarkan teman-temannya. Kalau ia kaya, maka kekayaannya tersebut bisa menjadi sarana membantu orang yang kesusahan.

Nah, kalau pikiran seseorang sudah diisi dengan keinginan untuk memberi manfaat bagi orang lain, maka ia sudah sukses menapaki tahap ketiga dalam pendidikan. Tidak mudah memang untuk sampai pada tingkatan seperti ini. Setidaknya ada lima tahapan yang harus dilalui. Tahap pertama adalah senang memperhatikan orang lain. "Ma, kasian ya anak itu...". Bila anak sudah senang memperhatikan orang lain, maka tanda-tanda kesuksesan sudah tampak di depannya. Tahap kedua adalah senang menghargai orang lain. Sedikit apapun kebaikan yang diberikan orang, si anak harus diajarkan untuk mengucapkan berterima kasih. Tahap ketiga adalah senang memberi, tidak pelit, dan gemar berbagi dengan teman-temannya. Tahap keempat adalah senang memberdayakan orang lain. Dan tahap kelima adalah adalah senang menyukseskan orang lain. Ibaratnya, tahap ketiga baru sebatas memberi ikan, tahap keempat (memberdayakan) adalah melatih agar terampil mencari ikan. Dan, pada tahap kelima (menyukseskan) berupaya menjadikan ia pengusaha ikan. Inilah puncak kemandirian.

Namun, saya jarang berpikir tentang kelakukan anak. Yang pertama kali dipikirkan adalah kelakukan ibu bapaknya. Karena itu, mendidik anak harus diawali dengan mendidik diri. Prinsip 3A sangat sulit sulit dilakukan anak kalau orangtuanya TENGIL. Jadi, karunia Allah untuk mendidik anak harus dimulai dengan mendidik diri.

Wallahu a'lam bish-shawab.

( KH. Abdullah Gymnastiar )

Saturday, February 17, 2007

Wise Words

No man or woman is worth your tears, and the one who is, won't make you cry.

A true friend is someone who reaches for your hand and touches your heart.


Maybe God wants us to meet a few wrong people before meeting the right one, so that when we finally meet the person, we will know how to be grateful.


Hidup dengan melakukan kesalahan akan tampak lebih terhormat daripada selalu benar karena tidak pernah melakukan apa-apa. (George Bernard Shaw)


Anda adalah produk dari lingkungan anda. Maka, pilihlah lingkungan yang terbaik bagi pengembangan anda menuju tujuan-tujuan anda. Analisalah hidup Anda melalui lingkungan anda. Apakah hal-hal yang disekitar anda membantu anda menuju sukses atau malah menahan anda? (W. Clement Stone)


Kita harus saling memaafkan dan kemudian melupakan apa yang telah kita maafkan. (Andrew Jackson)


Ada yang mengukur hidup mereka dari hari dan tahun. Yang lain dengan denyut jantung, gairah, dan air mata. Tetapi ukuran sejati di bawah mentari adalah apa yang telah engkau lakukan dalam hidup ini untuk orang lain. (Confucius)

Friday, February 16, 2007

Mengharap dan Memuji

Mengharap sebenarnya bisa merupakan sebentuk penggunaan otoritas, bisa juga merupakan sebentuk ekspresi cinta kemanusiaan. Jika ia lahir dari otoritas, maka nadanya akan bernuansa perintah. Tapi jika ia lahir dari cinta, maka nadanya akan bernuansa meminta dan mendorong. Memerintah dan mendorong merupakan dua kerja pendidikan yang sama pentingnya.


Nada dorongan dan perintah ini misalnya dapat kita temukan dalam hadits Nabi : “Perintahkanlah anakmua mendirikan sholat jika ia sudah berusia tujuh tahun, dan pukullah ia jika ia sudah berusia 10 tahun”.


Mengharap dengan demikian, berarti menggunakan otoritas sekaligus mengekspresikan cinta manusiawi kita. Kdua motif itu haruslah terlihat dan terasakan oleh anak, jangan sampai ia merasakan salah satunya. Selain kedua motif ini, mengharap yang edukatif harus juga memperhatikan hal-hal sebagai berikut :


Pertama, ukurlah batas kemampuan anak dan sesuaikan perintah dan dorongan itu dengan batas kemampuan tersebut. Kita harus yakin bahwa harapan kita benar-benar beralasan, atau bahwa kita mempunyai banyak alasan untuk mengharap. Adalah salah misalnya kita mengharap anak rajin belajar, sementara kita sendiri tidak memperhatikan usaha-usaha belajar sendiri atau gairah membaca atau menciptakan iklim belajar yang kondusif, sarana belajar, waktu, bimbingan dan lainnya. Jadi alasan mengharap berarti menyediakan daya dukung untuk mengharap, supaya harapan itu kelihatan logis.


Kedua, Bahasakanlah harapan itu dengan cara yang dapat embuat anak merasa bahwa itu adalah harapannya juga. Dengan begitu, nuansa dorongan akan selalu lebih terlihat ketimbang nuansa perintahnya. Yang kita inginkan dari cara ini adalah menumbuhkan motivasi intrinsik atau self motivation pada anak.


Lalu apa yang kita lakukan jika anak telah merealisasikan harapan kita ? atau sebaliknya tidak meralisasikan ? inilah kerja memberi imbalan dan sanksi. Memuji sebenarnya masuk dalam kategori memberi imbalan, yaitu imbalan psikologis. Sebagai imbalan psikologis, memuji berfungsi meneguhkan semangat dan menguatkan kepercayaan diri. Dengan memuji, kita menjaga stamina psikologis anak untuk terus bekerja serta memperkuat kepercayaan dirinya bahwa ia memang mampu melakukannya. Yang kita inginkan dari memuji adalah menyatakan dukungan terhadap anak bahwa sesunguhnya ia bisa. Dan yang kita inginkan dari anak adalah bahwa ia mengatakan Aku Bisa !.


Tapi inilah masalah kita sebagai orang tua. Kita selalu berhenti pada titik mengharap dan kadang terlihat begitu pelit memberikan sepatah dua kata pujian kepada anak. Padahal anak sesungguhnya terbebani secara psikologis dengan harapan kita dan hanya pujian yang tulus yang akan membuat anak merasa dihargai, diposisikan secara layak, diterima, didukung, dan diperhatikan dan seterusnya.


Tetapi memuji tetap harus dilakukan secara logis dan terarah. Logis berarti bahwa apa yang kita puji memang ada atau diharapkan akan ada. Terarah ebrarti bahwa pujian melakukan fungsinya sebagai penguat dan peneguh. Jika yang kita puji itu tidak ada dalam kenyataan, berarti kita menumbuhkan rasa percaya diri yang semu. Dan jika pujian diberikan secara berlebihan, boleh jadi anak akan over estimate dengan kemampuan dirinya.


Dari "Biar Kuncupnya Mekar jadi Bunga", Anis Matta
.